Asuhan Keperawatan Thalasemia
2.1 Thalasemia
2.1.1 Pengertian
Thalasemia berasal dari kata Yunani, yaitu talassa yang berarti laut. Yang dimaksud
dengan laut tersebut ialah laut tengah, oleh karena penyakit ini pertama kali
dikenal di daerah laut tengah. Penyakit
ini pertama kali ditemukan oleh seorang dokter di Detroit USA yang bernama
Thomas B. Cooley pada tahun 1925. Beliau menjumpai anak-anak yang menderita
anemia dengan pembesaran limpa setelah berusia satu tahun. Selanjutnya, anemia
ini dinamakan anemia splenic atau erittroblastosis atau anemia mediteranean
atau anemia Cooley sesuai dengan nama penemunya (weatheral, 1965 dalam Ganie,
2005).
Thalasemia adalah suatu gangguan
darah yang diturunkan ditandai oleh defisiensi produk rantai globulin pada
hemoglobin (Suriadi 2010). Hal ini menyebabkan ketidakseimbangan produksi
rantai globin. Ketidakseimbangan rantai globin pada thalassemia akan
mempengaruhi kegagalan eritropoeisis dan mempercepat pengrusakan eritrosit. Kelainan ini diderita sepanjang hidup
dan diklasifikasikan sebagai thalasemia alpha dan beta tergantung dari rantai
globin yang mengalami kerusakan pada sintesis hemoglobin. Penyakit
thalassemia meliputi suatu keadaan penyakit dari gejala klinis yang paling
ringan (bentuk heterozigot) yang disebut thalassemia minor atau thalassemia
trait, hingga yang paling berat (bentuk homozigot) yang disebut thalassemia
mayor.
Secara
klinis, thalassemia dibagi menjadi 3 grup. Klasifikasi ini memiliki
implikasi klinis
diagnosis dan penatalaksanaan.
(1) Thalassemia
mayor.
(2) Thalassemia
minor.
(3) Thalassemia intermedia.
2.1.2 Etiologi
Thalassemia
adalah penyakit genetik yang diturunkan secara autosomal resesif menurut hukum
Mendel dari orang tua kepada anak-anaknya. Orang normal mempunyai
dua gen yang normal untuk pembentukan haemoglobin.
Pembawa-sifat yang sehat (Carrier) dari β-thalassaemiatrait (trait=ciri)
mempunyai satu gen normal untuk haemoglobin dan satu gen yang berubah, mereka
sehat karena satu gen-nya bekerja dengan baik. Oleh karena satu gen diwariskan
dari setiap orang tua, sekurangnya satu dari orang tua mereka haruslah
pembawa-sifat. Orang dengan b-thalassaemia-mayor mempunyai dua gen yang
berubah, satu diwariskan dari masing-masing orang tuanya, jadi kedua orang
tuanya pastilah pembawa sifat. Apabila kedua orang tua merupakan pembawa sifat
thalasemia, dimana dari kedua orang tua tersebut diperkirakan akan lahir 25%
lahir normal, 50% pembawa sifat thalasemia dan 25% penderita thalasemia beta
mayor.
Gambar 2.1.
Thalasemia
Diturunkan Berdasarkan Hukum Mendel
Sumber : mirbrokers.com/data/NewsletterEdisi64Thalasemia dalam
Mariani, 2011
2.1.3 Patofisiologi
Selama kehamilan, thalasemia mayor tidak
mempengaruhi si janin. Hal ini terjadi karena janin mempunyai susunan
haemoglobin yang khusus, disebut haemoglobin-janin (“feotal haemoglobin”, disingkat HbF). Anak-anak dan orang dewasa mempunyai
susunan haemoglobin yang lain disebut haemoglobin dewasa (“adult haemoglobin”, disingkat HbA).
Ketika si bayi lahir, sebagian besar haemoglobinnya masih berbentuk Hb-janin
(HbF), tetapi selama enam bulan pertama kehidupannya, Hb jenis itu secara berangsur
digantikan posisinya oleh haemoglobindewasa (HbA). Masalah pada thalasemia
adalah si anak tak dapat membuat haemoglobin-dewasa yang cukup. Oleh karena itu
anak dengan thalasemia mayor berada dalam kondisi baik saat kelahiran, umumnya
menjadi sakit sebelum mereka berumur 2 tahun.
Masing-masing Hb A yang normal terdiri dari empat
rantai globin sebagai rantai polipeptida, di mana rantai tersebut terdiri dari
dua rantai polipeptida alpa dan dua rantai polipeptida beta. Empat rantai
tersebut bergabung dengan empat komplek heme untuk membentuk molekul
hemoglobin, pada thalasemia beta sisntesis rantai globin beta mengalami
kerusakan. Eritropoesis menjadi tidak efektif, hanya sebagian kecil eritrosit
yang mencapai sirkulasi perifer dan timbul anemia. Anemia berat yang
berhubungan dengan thalasemia beta mayor menyebabkan ginjal melepaskan
erythropoietin yaitu hormon yang menstimulasi bone marrow untuk
menghasilkan lebih banyak sel darah merah, sehingga hematopoesis menjadi tidak
efektif. Eritropoiesis yang meningkat mengakibatkan hiperplasia dan ekspansi
sumsum tulang, sehingga timbul deformitas pada tulang. Eritropoietin juga
merangsang jaringan hematopoesis ekstra meduler di hati dan limpa sehingga
timbul hepatosplenomegali. Akibat lain dari anemia adalah meningkatnya absorbsi
besi dari saluran cerna menyebabkan penumpukan besi
berkisar
2-5 gram pertahun.
Gambar 2.2. Patofisiologi Thalasemia
menstimulasi sritropoesis
Hiperplasia Sel darah Hemopoesis
Perubahan skeletal Hemolisis Splenomegali,
Anemia Hemosiderosis Hemakromatosis
Maturasi seksual dan Kulit
kecoklatan Fibrosis
Jantung Liver Kandung Pankreas Limpa
Gagal jantung Sirosis
Kolelitiasis Diabetes splenomegali
Sumber : Suriadi
( 2010 : 31)
2.1.4 Manifestasi Klinis
Anemia terjadi pada usia 3-6 bulan ketika terjadi pergnatian sintesis
rantai –γ menjadi rantai –β yaitu HbF menjadi HbA secara normal kasus yang
lebih ringan terjadi di atas usia tersebut (sampai usia 4 tahun).
Thalasemia minor
umumnya hanya menyebabkan anemia ringan sampai sedang, dan mungkin bersifat
asimtomatik dan sering tidak terditeksi.
Sedangkan thalasemia mayor umumnya menampakan manifestasi klinis yang
jelas.
Tanada awal sebelum
diagnosis ditegakan, awitan mendadak, anemia demam yang penyebabnya tidak bisa
dijelaskan, pola makan memburuk dan pembesaran limpa yang khas. Komplikasi
jangka panjang sebagai akibat dari hemokromatosis dengan kerusakan sel resultan
yang mengakibatkan splenomegali (biasanya memerlukan splenoktomi). Komplikasi
skeletal, seperti penebalan tulang kranial, pembesaran kepala, tulang wajah
menonjol, maloklusi gigi, yang akan nampak facies talasemik atau facies cooley,
dan rentan terhadap fraktur sepontan. Komplikasi jantung, seperti aritmia,
perikarditis, CHF, dan dan fibrosis serat otot jantung. Penyakit kantung
empedu, termasuk batu kandung empedu ( dapat memerlukan kolesistektomi). Pembesaran
hepar dan berlanjut menjadi sirosis. Perubahan
kulit, seperti ikterus dan pigmentasi coklat akibat deposit zat besi. Retardasi
pertumbuhan dan komplikasi endokrin (kemungkinan disebabkan oleh kelenjar
endokrin sensitif terhadap zat besi), seperti keterlambatan kematanag seksual
dan diabetes melitus.
2.1.5 Dampak Thalasemia Terhadap Kondisi Psikososial Anak
Penyakit thalasemia
selain berdampak pada kondisi fisik juga terhadap kondisi psikososial, anak
dengan kondisi penyakit kronis mudah mengalami emosi dan masalah prilaku.
Lamanya perjalanan penyakit, pengobatan dan perawatan yang terjadwal secara
pasti serta seringnya tidak masuk sekolah menuntut kebutuhan emosional yang
lebih besar. Anak penderita thalasemia mengalami perasaan berbeda dengan orang
lain dan mengalami hargadiri yang rendah (Mariani 2011).
2.1.6 Dampak Thalasemia Terhadap Keluarga
Penyakit thalasemia
pada anak selain berdampak pada kondisi anak itu sendiri juga berdampak pada
keluarga. Dampak terhadap keluarga yang dijumpai anatara lain yaitu:
Permasalahan perawatan di rumah, permasalahan keuangan, dampak psikis keluarga
dimana kelaurga takut anaknya meninggal dan adanya tekanan yang relatif pada
keluarga (Wong, 2009; Potts & Mandleco, 2007).
Berdasarkan penelitian
yang terkait dengan dampak pada keluarga dilakukan oleh Hobdell (2004) bahwa
adanya chronic sorrow atau perasaan berduka pada orang tua dengan
anak dengan kondisi kronik. Di lain pihak keluarga mempunyai peranan penting
dalam memberikan dukungan terhadap anak penderita thalasemia, dukungan yang
diberikan menurut Friedman (1998) meliputi empat fungsi yaitu dukungan
informasional, dukungan penelitian, dukungan instrumental dan dukungan
emosional. Keberadaan dukungan sosial terbukti berhubungan dengan menurunya
mortalitas dan lebih mudah sembuh dari sakit (dalam Mariani, 2011)
2.1.7 Diagnosa
Diagnosis
thalasemia beta ditegakkan berdasarkan pemeriksaan laboratorium dan gambaran
klinis. Pemeriksa hematologi mengungkapkan perubahan yang khas pada sel darah
merah (yaitu, mikrositosis, hipokromia, anisositosis, poikilositosis, sel-sel
target dan basophilic stipling [bercak-bercak berbentuk batang] pada berbagai
stadium). Kadar Hb dan hematocrit (Ht) yang rendah terlihat pada anemia berat,
walaupun kedua angka tersebut secara khas lebih rendah dibandingkan angka
penurunan jumlah eritrosis karena proliferasis eritrosis yang imatur. Hasil
pemeriksa elektroforesis Hb akan memastikan diagnosis, dan foto
ronsen/radiograf tulang yang terkait akan mengungkapkan gambaran yang khas.
Klasifikasi
secara klinis dibagi menjadi lima kategori sebagai berikut:
(1) Silent
carrier β thalasemia: pasien biasanya tidak memiliki gejala.
(2) β thalasemia trait: pasien mengalami
anemia ringan, sel darah merah abnormal, Hb abnormal, pada pemeriksaan darah
perifer biasanya ditemukan hipochrom dan microcytosis.
(3) Thalasemia
intermedia: kondisi ini biasanya berhubungan dengan keadaan heterozygote
yang menghasilkan anemia tetapi tidak mengalami ketergantungan transfusi darah.
(4) β
thalasemia berhubungan dengan variasi struktur dari rantai β.
(5) Thalasssemia
β mayor (Cooley anemia): pada kondisi ini memerlukan transfusi darah
yang terus menerus, splenomegali yang berat, deformitas dari tulang dan
keterlambatan pertumbuhan. Hasil pemeriksaan darah tepi pada pasien ditemukan hypocromic
macrocytes, polychromasia, leukostes yang immatur.
Diagnosis pranatal
tersedia dengan menggunakaan DNA (vili korionik atau cairan amnion) maupun
darah janin. DNA fetal biasanya diamplifikasi dengan menggunakan reaksi rantai
polimerase (polymerase chain reaction,
PRC) dan mutasi DNA deteksi. Jika janin terkena dengan parah, pasangan tersebut
harus melakukan konsultasi, dan terminasi kehamilan, jika perlu, bisa ditawarkan.
2.1.8 Penatalaksanaan
Transfusi darah merupakan dasar penata pelaksanaan
medis. Terapi suportif ini bertujuan mempertahankan kadar Hb yang cukup untuk
mencegah ekspansi sumsum tulang dan deformitas tulang yang diakibatkannya,
serta menyediakan eritrosis dengan jumlah cukup untuk mendukung pertumbuhan dan
aktivitas fisik yang normal. Studi terbaru telah mengevaluasi manfaat
mempertahankan kadar Hb di atas 10 g/dl, suatu tujuan yang memerlukan terapi
transfusi setiap 3 minggu sekali. Keuntungan terapi ini meliputi:
(1) Peningkatan kesehatan fisik dan psikologis
karena anak mampu turut serta dalam aktivitas normal.
(2) Penurunan kardiomegali dan hepatosplenomegali.
(3) Perubahan pada tulang lebih sedikit.
(4) Pertumbuhan dan perkembangan normal atau
mendekati normal sampai usia pubertas.
(5) Frekuensi
infeksi lebih sedikit.
Meskipun begitu, tindakan menaikkan kadar Hb hingga
melebihi 15 gr/dL tidak dianjurkan. Keputusan untuk memulai program transfusi
didasarkan pada kadar Hb < 6 gr/dL dalam interval 1 bulan selama 3 bulan
berturut-turut, yang berhubungan dengan pertumbuhan yang terganggu, pembesaran
limpa, dan atau ekspansi sumsum tulang. Transfusi dengan dosis 15-20 mL/kgBB Packed
Red Cells (PRC) biasanya diperlukan setiap 4-5 minggu.
Salah satu komplikasi yang potensial terjadi pada
seringnya terapi transfusi adalah kelebihan muatan zat besi. Karena tubuh tidak
memiliki cara efektif untuk mengeleminasi zat besi yang berlebihan maka mineral
tersebut akan ditimbun dalam jaringan tubuh. Untuk meminimalkan terjadinya
hemosiderosis dapat diberikan deferoksamin (Desferal), suatu agens kelasi-zat
besi-bersama dengan suplemen oral vitamin C dalam dosis kecil. Pemberian
vitamin C 100-250 mg/hari bertujuan untuk meningkatkan ekskresi besi. Vitamin C
hanya boleh diberikan pada pasien-pasien yang mengalami deplesi askorbat dan
hanya pada saat deferoksamin diberikan. Ketika kadar ferritin turun mendekati
nilai normal, peranan vitamin C dalam meningkatkan ekskresi zat besi akan
menghilang (Benz dan Giardian, 1995). Deferoksamin diberikan melalui intravena
atau subkutan, yang sering kali diberikan dirumah dengan menggunakan pompa
infus portable, selama 8 hingga 24 jam (biasanya selama waktu tidur) selama 5
hingga 7 hari dalam seminggu. Deveroksamin juga diberikan secara intravena
selama periode 4 jam pada saat dilakukan transfusi darah (Benz dan Giardian,
1995). Selain itu Asam folat 2-5 mg/hari diberikan untuk memenuhi kebutuhan
yang meningkat, dan vitamin E 200-400 IU/hari bertujuan untuk memperpanjang
umur sel darah merah.
Sebelum dilakukan transfusi pertama, status besi dan
folat pasien harus diukur, vaksin hepatitis B diberikan, dan fenotip sel darah
merah secara lengkap ditentukan, sehingga alloimunisasi yang timbul dapat
dideteksi. Pemeriksaan kadar feritin juga perlu dilakukan setiap 1-3 bulan
untuk memantau kadar besi dalam darah.
Pada sebagian anak
dengan splenomegali berat yang menunjukan peningkatan kebutuhan transfusi,
tindakan splenektomi mungkin diperlukan untuk mengurangi efek tekanan abdomen
yang membuat anak tidak berdaya dan untuk memperpanjang usia sel darah merah
yang ditambahkan lewat transfusi.
Setelah melewati periode waktu tertentu, limpa dapat mempercepat laju destruksi
sel darah merah sehingga meningkatkan kebutuhan transfusi. Setelah splenektomi,
umumnya anak-anak tersebut lebih sedikit memerlukan transfusi darah, walaupun
efek dasar pada sintesis Hb tetap tidak dipengaruhi. Komplikasi mayor
pascasplenektomi adalah infeksi yang berat dan sangat banyak. Oleh karena itu,
anak-anak yang menjamin splenektomi harus terus mendapat terapi antibiotic
profilaksis dengan pengawasan medis yang ketat selama bertahun-tahun dan harus
memperoleh vaksin pneumokokus dan meningokokus selain memperoleh imunisasi yang
dijadwalkan secara rutin.
Prognosis pada penyakit
thalasemia yaitu sebagian anak mendapatkan transfusi darah dan terapi kelasi
dini akan dapat hidup dengan baik sampai usia dewasa. Penyebab kematian yang
palig sering terjadi adalah penyakit jantung yang diinduksi zat besi, dan
kemudiandiikuti dengan infeksi, penyakit hati dan malignansi (Benz dan
Giardian, 1995). Terapi yang menjanjikan bagi sebagian anak adalah
transplantasi sumsum tulang. Pada sebuah studi, anak-anak berusia dibawah 16
tahun yang menjalani transplantasi sumsum tulang alogenik menunjukan angka
keberhasilan hidup tanpa komplikasi sebesar 59% hingga 98% (Giardina, 1994;
Walters dan Thomas, 1994).
2.1.9 Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
(1) Pemeriksaan
fisik
(a) Riwayat
keperawatan
(b) Kaji adanya tanda anemia ( pucat, lemah,
sesak, nafas cepat, hipoksia kronik, nyeri tulang dan dada, menurunya
aktivitas, anorexia), epistaksis berulang.
(2) Pengkajian
psikososial
(a) Anak:
Usia, tugas perkembangan psikososial (Erikson), kemampuan beradaptasi dengan
penyakit, mekanisme koping yang digunakan.
(b) Keluarga:
respon emosional keluarga, koping yang digunakan keluarga, penyesuaiian
keluarga terhadap stress.
B.
Diagnosa keperawatan
(1) Perubahan
perfusi jaringan berhubungan dengan berkurangnya komponen seluler yang
penting untuk menghantarkan oksigen/ zat
nutrisi ke sel.
(2) Tidak
toleransi terhadap aktifitas berhubungan dengan tidak seimbngnya kebutuhan
pemakaian dan suplai oksigen.
(3) Perubahan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan kurangnnya selera makan.
(4) Tidak
efektif koping keluaraga berhubungan dengan dampak penyakit anak terhadap
fungsi keluarga.
C.
Perencanaan
(1) Anak
akan menunjukan perfusi jaringan yang adekuat.
(2) Anak
akan toleran tehadap aktifitas.
(3) Anak
akan menunjukan tanda-tanda terpenuhinya kebutuhan nutrisi.
(4) Keluarga
akan dapat mengatasi dan mengendalikan stress.
D.
Implementasi
(1) Perfusi
jaringan adekuat
(a) Memonitor
tanda-tanda vital, pengisian kapiler, warna kulit, membran mukosa.
(b) Meninggikan
posisi kepala di tempat tidur.
(c) Memeriksa
dan mendokumentasikan adanya rasa nyeri.
(d) Observasi
adanya keterlambatan respon verbal kebingunggan atau gelisah.
(e) Mengobservasi
dan mendokumentasikan adanya rasa dingin.
(f) Mempertahankan
suhu lingkungan agar tetap hangat sesuai kebutuhan. tubuh.
(g) Memberikan
oksigen sesuai kebutuhan.
(2) Mendukung
anak tetap toleran terhadap aktifitas
(a) Menilai
kemampuan anak dalam melakukan aktifitas sesuai dengan kondisi fisik dan tugas
perkembangan anak.
(b) Memonitor
tanda-tanda vital selama dan setelah melakukan aktifitas dan mencatat adanya
respon fisiologis terhadap aktifitas (peningkatan denyut jantung, peningkatan
tekanan darah, nafas cepat, pusing atau kelelahan).
(c) Berikan
dukungan kepada anak untuk melakukan kegiatan sehari-hari sesuai dengan
kemampuan anak.
(d) Mengajarkan
kepada orang tua teknik memberikan reinfocment terhadap partisipasi anak di
rumah.
(e) Membuat
jadwal aktifitas bersama anak dan keluarga dengan melibatkan tim kesehatan lain.
(f) Menjelaskan
dan memberikan rekomendasi kepada sekolah tentang kemampuan anak dalam
melakukan aktifitas, memonitor kemampuan melakukan aktifitas secara berkala dan
menjelaskan kepada orang tua dan sekolah.
(3) Memenuhi
kebutuhan nutrisi yang adekuat
(a) Mengijinkan
anak untuk memakan makanan yang dapat ditoleransi anak, rencanakan untuk
memperbaiki kualitas gizi pada saat selera makan anak menigkat.
(b) Berikan
makanan yang disertai dengan suplemen nutrisi untuk meningkatkan kualitas
intake nutrisi.
(c) Mengijinkan
anak untuk terlibat dalam persiapan dalam pemilihan makanan.
(d) Mengevaluasi
berat badan anak setiap hari.
(e) Keluarga
akan mengatasi dan dapat mengendalikan stress yang terjadi pada keluarga.
(f) Memberikan
dukungan pada keluarga dan menjelaskan kondisi anak sesuai dengan realita yang
ada.
(g) Membantu
ornag tua untuk mengembangkan strategi untuk melakukan penyesuaian terhadap
krisis akibat penyakit yang di derita anak.
(h) Memberikan
dukungan kepada keluarga untuk mengembangkan harapan realistis terhadap anak.
(i) Menganalisa
sistem yang mendukung dan penggunaan sumber-sumber di masyarakat (pengobatan,
keuangan, sosial) untuk membantu proses penyesuaian keluarga terhadap penyakit
anak.
(4) Perencanaan
pemulangan
(a) Berikan
informasi tentang kebutuhan melakukan aktifitas sesuai dengan tingkat
perkembangan dan kondisi fisik anak.
(b) Jelaskan
terapi yang diberikan; dosis, efek samping.
(c) Jelaskan
perawatan yang diperlukan dirumah.
(d) Tekankan
untuk melakukan kontrol ulang sesuai waktu yang ditentukan.
DAFTAR PUSTAKA
Brooker, Chris. 2008. Ensiklopedia Keperawatan. Jakarta: EGC
Bulan, S. 2009. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup anak thalasemia beta mayor. Melalui eprints.undip.ac.id/24717/1/Sandra_Bulan.pdf [31/01/13].
Ganie, Ratna A. 2005. Thalasemia: permasalahan dan penangananya. Melalui repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/.../08E00109.pdf
[29/03/12].
Mariani, Dini. 2011. Analisa faktor yang mempengaruhi kualitas hidup anak
thalasemia beta mayor di RSU kota Tasik Malaya dan Ciamis. Melalui www.digilib.ui.ac.id/file?file=pdf/abstrak-20280658.pdf
[31/01/13].
Furqonita,
Deswaty .2006. Seri IPA Biologi.
Jkarta: Quadra
Mehta,
Atul B. 2008 . At a Glance Hematologi
Edisi 2. Jakatra : Erlangga
Suriadi,
dkk. 2010. Asuhan Keperawatan Pada Anak.
Jakarta : Cv. Sagung Seto
Wahyuni,
Masyitah S. 2010. Perbandingan kualitas hidup anak penderita thalasemia dengan
saudara penderita thalasemia yang normal. Melalui repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/.../Appendix.pdf
[03/01/13].
Wong,
Dona L .2008. Buku Ajar Keperawatan
Pediatrik. Jakarta : EGC
Yunanda,
Yuki. 2008. Thalasemia. Melalui repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/.../08E00848.pdf
[29/03/12].
+ komentar + 1 komentar
punya materi tentang Surfactan infant distress syndrome (SIDS) ndak min?
Posting Komentar