BAB II
PEMBAHASAN
2.1 ABORSI
Aborsi secara umum adalah
berakhirnya suatu kehamilan (oleh akibat-akibat tertentu) sebelum buah
kehamilan tersebut mampu untuk hidup di luar kandungan. (JNPK-KR, 1999) (www.jender.or.id) Secara lebih spesifik,
Ensiklopedia Indonesia memberikan pengertian aborsi sebagai berikut : “Pengakhiran
kehamilan sebelum masa gestasi 28 minggu atau sebelum janin mencapai berat
1.000 gram.” Definisi lain menyatakan, aborsi adalah pengeluaran hasil konsepsi
pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500
gram. Aborsi merupakan suatu proses pengakhiran hidup dari janin sebelum diberi
kesempatan untuk bertumbuh (Kapita Seleksi Kedokteran, Edisi 3, halaman 260).
Dalam dunia kedokteran dikenal 3 macam aborsi, yaitu:
1. Aborsi Spontan/ Alamiah atau Abortus
Spontaneus
2. Aborsi Buatan/ Sengaja atau
Abortus Provocatus Criminalis
3. Aborsi Terapeutik/ Medis atau
Abortus Provocatus Therapeuticum
Aborsi spontan/ alamiah berlangsung tanpa tindakan apapun.
Kebanyakan disebabkan karena kurang baiknya kualitas sel telur dan sel sperma.
Aborsi buatan/ sengaja/ Abortus
Provocatus Criminalis adalah pengakhiran kehamilan sebelum usia kandungan 20
minggu atau berat janin kurang dari 500 gram sebagai suatu akibat tindakan yang
disengaja dan disadari oleh calon ibu maupun si pelaksana aborsi (dalam hal ini
dokter, bidan atau dukun beranak).
Aborsi terapeutik / Abortus
Provocatus therapeuticum adalah pengguguran kandungan buatan yang dilakukan atas
indikasi medik. Sebagai contoh, calon ibu yang sedang hamil tetapi mempunyai
penyakit darah tinggi menahun atau penyakit jantung yang parah yang dapat
membahayakan baik calon ibu maupun janin yang dikandungnya. Tetapi ini semua
atas pertimbangan medis yang matang dan tidak tergesa-gesa.
Pelaksanaan aborsi adalah sebagai
berikut. Kalau kehamilan lebih muda, lebih mudah dilakukan. Makin besar makin
lebih sulit dan resikonya makin banyak bagi si ibu, cara-cara yang dilakukan di
kilnik-klinik aborsi itu bermacam-macam, biasanya tergantung dari besar
kecilnya janinnya.
- Abortus untuk kehamilan sampai 12 minggu biasanya dilakukan dengan MR/ Menstrual Regulation yaitu dengan penyedotan (semacam alat penghisap debu yang biasa, tetapi 2 kali lebih kuat).
- Pada janin yang lebih besar (sampai 16 minggu) dengan cara Dilatasi & Curetage.
- Sampai 24 minggu. Di sini bayi sudah besar sekali, sebab itu biasanya harus dibunuh lebih dahulu dengan meracuni dia. Misalnya dengan cairan garam yang pekat seperti saline. Dengan jarum khusus, obat itu langsung disuntikkan ke dalam rahim, ke dalam air ketuban, sehingga anaknya keracunan, kulitnya terbakar, lalu mati.
- Di atas 28 minggu biasanya dilakukan dengan suntikan prostaglandin sehingga terjadi proses kelahiran buatan dan anak itu dipaksakan untuk keluar dari tempat pemeliharaan dan perlindungannya.
- Juga dipakai cara operasi Sesaria seperti pada kehamilan yang biasa Dengan berbagai alasan seseorang melakukan aborsi tetapi alasan yang paling utama adalah alasan-alasan non-medis. Di Amerika Serikat alasan aborsi antara lain :
- Tidak ingin memiliki anak karena khawatir menggangu karir, sekolah, atau tanggung jawab yang lain (75%)
- Tidak memiliki cukup uang untuk merawat anak (66%)
- Tidak ingin memiliki anak tanpa ayah (50%)
2.1.1 Aborsi Menurut Hukum Islam
Abdurrahman Al Baghdadi (1998) dalam
bukunya Emansipasi Adakah Dalam Islam halaman 127-128 menyebutkan bahwa aborsi
dapat dilakukan sebelum atau sesudah ruh (nyawa) ditiupkan. Jika dilakukan
setelah setelah ditiupkannya ruh, yaitu setelah 4 (empat) bulan masa kehamilan,
maka semua ulama ahli fiqih (fuqoha) sepakat akan keharamannya. Tetapi para
ulama fiqih berbeda pendapat jika aborsi dilakukan sebelum ditiupkannya ruh.
Sebagian memperbolehkan dan sebagiannya mengharamkannya.
Yang memperbolehkan aborsi sebelum
peniupan ruh, antara lain Muhammad Ramli (w. 1596 M) dalam kitabnya An Nihayah
dengan alasan karena belum ada makhluk yang bernyawa. Ada pula yang
memandangnya makruh, dengan alasan karena janin sedang mengalami pertumbuhan.
Yang mengharamkan aborsi sebelum
peniupan ruh antara lain Ibnu Hajar (w. 1567 M) dalam kitabnya At Tuhfah dan Al
Ghazali dalam kitabnya Ihya` Ulumiddin. Bahkan Mahmud Syaltut, mantan Rektor
Universitas Al Azhar Mesir berpendapat bahwa sejak bertemunya sel sperma dengan
ovum (sel telur) maka aborsi adalah haram, sebab sudah ada kehidupan pada
kandungan yang sedang mengalami pertumbuhan dan persiapan untuk menjadi makhluk
baru yang bernyawa yang bernama manusia yang harus dihormati dan dilindungi
eksistensinya. Akan makin jahat dan besar dosanya, jika aborsi dilakukan
setelah janin bernyawa, dan akan lebih besar lagi dosanya kalau bayi yang baru
lahir dari kandungan sampai dibuang atau dibunuh (Masjfuk Zuhdi, 1993,
Masail Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam, halaman 81; M. Ali Hasan, 1995,
Masail Fiqhiyah Al Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam, halaman
57; Cholil Uman, 1994, Agama Menjawab Tentang Berbagai Masalah Abad Modern,
halaman 91-93; Mahjuddin, 1990, Masailul Fiqhiyah Berbagai Kasus Yang Yang
Dihadapi Hukum Islam Masa Kini, halaman 77-79).
Pendapat yang disepakati fuqoha,
yaitu bahwa haram hukumnya melakukan aborsi setelah ditiupkannya ruh (empat
bulan), didasarkan pada kenyataan bahwa peniupan ruh terjadi setelah 4 (empat)
bulan masa kehamilan. Abdullah bin Mas’ud berkata bahwa Rasulullah SAW telah
bersabda :
“Sesungguhnya setiap kamu
terkumpul kejadiannya dalam perut ibumu selama 40 hari dalam bentuk ‘nuthfah’,
kemudian dalam bentuk ‘alaqah’ selama itu pula, kemudian dalam bentuk ‘mudghah’
selama itu pula, kemudian ditiupkan ruh kepadanya.” (HR. Bukhari,
Muslim, Abu Dawud, Ahmad, dan Tirmidzi)
Maka dari itu, aborsi setelah
kandungan berumur 4 bulan adalah haram, karena berarti membunuh makhluk yang
sudah bernyawa. Dan ini termasuk dalam kategori pembunuhan yang keharamannya
antara lain didasarkan pada dalil-dalil syar’i berikut. Firman Allah SWT :
“Dan janganlah kamu membunuh
anak-anak kamu karena kemiskinan. Kami akan memberikan rizki kepada mereka dan
kepadamu.” (TQS Al An’aam : 151)
“Dan janganlah kamu membunuh
anak-anak kamu karena takut miskin. Kami akan memberikan rizki kepada mereka
dan kepadamu.” (TQS Al Isra` : 31 )
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa
yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan (alasan) yang benar
(menurut syara’).” (TQS Al Isra` : 33)
“Dan apabila bayi-bayi yang
dikubur hidup-hidup itu ditanya karena dosa apakah ia dibunuh.” (TQS At
Takwir : 8-9)
Berdasarkan dalil-dalil ini maka
aborsi adalah haram pada kandungan yang bernyawa atau telah berumur 4 bulan,
sebab dalam keadaan demikian berarti aborsi itu adalah suatu tindak kejahatan
pembunuhan yang diharamkan Islam.
2.1.2 Hukum Aborsi
Menurut Hukum di Indonesia
Menurut hukum-hukum yang berlaku di
Indonesia, aborsi atau pengguguran janin termasuk kejahatan, yang dikenal
dengan istilah “Abortus Provocatus Criminalis”
Yang menerima hukuman adalah:
1. Ibu yang melakukan aborsi
2. Dokter atau bidan atau dukun yang membantu melakukan aborsi
3. Orang-orang yang mendukung terlaksananya aborsi
1. Ibu yang melakukan aborsi
2. Dokter atau bidan atau dukun yang membantu melakukan aborsi
3. Orang-orang yang mendukung terlaksananya aborsi
Beberapa
pasal yang terkait adalah:
Pasal 229 :
1.
Barang siapa dengan
sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruhnya supaya diobati, dengan
diberitahukan atau ditimbulkan harapan, bahwa karena pengobatan itu
hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama
empat tahun atau denda paling banyak tiga ribu rupiah.
2.
Jika yang bersalah,
berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau menjadikan perbuatan
tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika dia seorang tabib, bidan
atau juru obat, pidananya dapat ditambah sepertiga.
3.
Jika yang bersalah,
melakukan kejahatan tersebut, dalam menjalani pencarian maka dapat dicabut
haknya untuk melakukan pencarian itu.
Pasal 341 :
Seorang ibu yang, karena takut akan
ketahuan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian,
dengan sengaja merampas nyawa anaknya, diancam, karena membunuh anak sendiri, dengan
pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Pasal 342 :
Seorang ibu yang, untuk
melaksanakan niat yang ditentukan karena takut akan ketahuan bahwa akan
melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian merampas
nyawa anaknya, diancam, karena melakukan pembunuhan anak sendiri dengan
rencana, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Pasal 343 :
Kejahatan yang diterangkan dalam
pasal 341 dan 342 dipandang, bagi orang lain yang turut serta melakukan,
sebagai pembunuhan atau pembunuhan dengan rencana.
Pasal 346 :
Seorang wanita yang sengaja
menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu,
diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Pasal 347 :
1.
Barangsiapa dengan
sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa
persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
2.
Jika perbuatan itu
mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama
lima belas tahun.
Pasal 348 :
1.
Barangsiapa dengan
sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan
persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam
bulan.
2.
Jika perbuatan itu
mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama
tujuh tahun.
Pasal 349 :
Jika seorang tabib, bidan atau juru
obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan
atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347
dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan
sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana
kejahatan dilakukan.
2.2 EUTHANASIA
Euthanasia
secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti baik, dan thanatos,
yang berarti kematian.
Dalam
bahasa Arab dikenal dengan istilah qatlu ar-rahma atau taysir al-maut. Menurut
istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan agar kesakitan atau penderitaan
yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga berarti mempercepat
kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya
(Hasan, 1995:145).
Dalam
praktik kedokteran, dikenal dua macam euthanasia, yaitu euthanasia aktif dan
euthanasia pasif.
Euthanasia aktif
adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan memberikan suntikan
ke dalam tubuh pasien tersebut.
Suntikan
diberikan pada saat keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah
sampai pada stadium akhir, yang menurut perhitungan medis sudah tidak mungkin
lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang biasanya dikemukakan dokter
adalah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan memperpanjang penderitaan
pasien serta tidak akan mengurangi sakit yang memang sudah parah (Utomo,
2003:176).
Contoh euthanasia aktif,
misalnya ada seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa
sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin yang
bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan
takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya,
tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus (Utomo, 2003:178).
Adapun euthanasia pasif,
adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang menderita sakit
keras, yangsecara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian
pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim
dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas,
sementara dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi
pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidakefektif lagi. Terdapat
tindakan lain yang bisa digolongkan euthanasia pasif, yaitu tindakan dokter
menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut penelitian medis masih
mungkin sembuh. Alasan yang dikemukakan dokter umumnya adalah ketidakmampuan
pasien dari segi ekonomi, yang tidak mampu lagi membiayai dana pengobatan yang sangat
tinggi (Utomo, 2003:176).
Contoh euthanasia pasif,
misalkan penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam
keadaan koma,disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh.
Atau, orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati
maka dapat mematikan penderita. Dalam kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya
dihentikan, akan dapat mempercepat kematiannya (Utomo, 2003:177).
Menurut Deklarasi Lisabon 1981, euthanasia dari
sudut kemanusiaan dibenarkan dan merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit
yang tidak dapat disembuhkan. Namun dalam praktiknya dokter tidak mudah
melakukan euthanasia, karena ada dua kendala. Pertama, dokter terikat dengan
kode etik kedokteran bahwa ia dituntut membantu meringankan penderitaan pasien
Tapi di sisi lain, dokter menghilangkan nyawa orang lain yang berarti melanggar
kode etik kedokteran itu sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang
lain merupakan tindak pidana di negara mana pun.
2.
2.1 Pandangan Syariah Islam
Syariah
Islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala persoalan di
segala waktu dan tempat.
Syariah
Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori pembunuhan
sengaja, walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasien.
Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya.
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang
mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri
sendiri. Misalnya firman Allah SWT :
Dan
janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya)
melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar (QS Al-An’am : 151).
Dan
tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali
karena tersalah (tidak sengaja) (QS An-Nisaa` : 92).
Dan
janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu (QS An-Nisaa` : 29).
Dari
dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan
euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan
sengaja yang merupakan tindak pidana
(jarimah) dan dosa besar.
Dokter
yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan mematikan,
menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena
membunuh), oleh pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman Allah :
Telah
diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh (QS
Al-Baqarah : 178)
Namun
jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash (dengan
memaafkan), qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai dua
pilihan lagi, meminta diyat (tebusan), atau memaafkan/menyedekahkan. Firman
Allah SWT
Maka
barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang
memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf)
membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula) (QS
Al-Baqarah : 178).
Diyat
untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di antaranya
dalam keadaan bunting, berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i (Al-Maliki,
1990: 111). Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau dirham (uang
perak), maka diyatnya adalah 1000 dinar, atau senilai 4250 gram emas (1 dinar =
4,25 gram emas), atau 12.000 dirham, atau senilai 35.700 gram perak (1 dirham =
2,975 gram perak) (Al-Maliki, 1990: 113).
Tidak
dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan
melihat penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan kematiannya.
Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada
aspek-aspek lainnya yang tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia. Dengan
mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan
manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Allah kepada-Nya, yaitu
pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda,―Tidaklah menimpa kepada seseorang
muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun
penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan
atau dosanya dengan musibah yang menimpanya itu.― (HR Bukhari dan Muslim).
Adapun
hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik menghentikan
pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa
pengobatan yag dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidakmemberikan harapan
sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien,
misalnya dengan cara menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien.
Bagaimanakah
hukumnya menurut Syariah Islam?
Jawaban
untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum berobat
(at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub,mubah, atau
makruh?
Dalam
masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurutumhur ulama, mengobati atau berobat
itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagian ulama ada
yangmewajibkan berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti
dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Utomo, 2003:180). Menurut Abdul
Qadim Zallum (1998:68) hukum berobat adalah mandub. Tidak wajib. Hal ini
berdasarkan berbagai hadits, di mana pada satu sisi Nabi SAW menuntut umatnya
untuk berobat, sedangkan di sisi lain, ada qarinah (indikasi) bahwa tuntutan
itu bukanlah tuntutan yang tegas (wajib), tapi tuntutan yag tidak tegas
(sunnah)
Di
antara hadits-hadits tersebut, adalah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda :
Sesungguhnya
Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula
obatnya. Maka berobatlah kalian(HR Ahmad, dari Anas RA).
Hadits
di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat. Menurut ilmu
Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li
ath-thalab), bukan menunjukkan kewajiban (li al-wujub).
2.2.2 Euthanasia Menurut Hukum di Indonesia
Berdasarkan hukum di Indonesia maka
eutanasia adalah sesuatu perbuatan yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat
pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu pada Pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana
yang menyatakan bahwa "Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas
permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan
sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun". Juga demikian
halnya nampak pada pengaturan pasal-pasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP yang juga
dapat dikatakan memenuhi unsur-unsur delik dalam perbuatan eutanasia. Dengan
demikian, secara formal hukum yang berlaku di negara kita memang tidak
mengizinkan tindakan eutanasia oleh siapa pun.
Ketua umum pengurus besar Ikatan
Dokter Indonesia (IDI) Farid Anfasal Moeloek dalam suatu pernyataannya yang
dimuat oleh majalah Tempo Selasa 5 Oktober 2004 [12] menyatakan bahwa : Eutanasia
atau "pembunuhan tanpa penderitaan" hingga saat ini belum dapat
diterima dalam nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat Indonesia.
"Euthanasia hingga saat ini tidak sesuai dengan etika yang dianut oleh
bangsa dan melanggar hukum positif yang masih berlaku yakni KUHP.
2.3 KLONING
Kloning menurut bahasa adalah
berasal dari bahasa Yunani, yaitu clone atau klon yang berarti kumpulan sel
turunan dari sel induk tunggal dengan reproduksi aseksual. Sedangkan menurut istilah Kloning adalah
teknik membuat keturunan dengan kode genetic yang sama dengan sel induknya
tanpa diawali proses pembuahan sel telur atau sperma tapi diambil dari inti
sebuah sel pada makhluk hidup tertentu baik berupa tumbuhan, hewan maupun
manusia.
2.3.1
Macam-macam Kloning
Dalam
hal ini Kloning terdiri dari beberapa macam, antara lain:
1.
Kloning pada tumbuhan
Kloning pada tumbuhan yaitu
mencangkok atau menstek tanaman untuk mendapatkan tanaman yang memiliki sifat
persis sama dengan induknya.
2.
Kloning pada hewan
Kloning pada hewan pertama kali
dicoba pada tahun 1950-an pada hewan katak, tikus, kera dan bison juga pada
domba, dan dalam kelanjutannya proses yang berhasil hanyalah percobaan Kloning
pada domba. Awal mula proses pengkloningan domba adalah dengan mengambil inti
sel dari tubuh domba, yaitu dari payudara atau ambingnya lalu sifat khusus yang
berhubungan dengan fungsi ambing ini dihilangkan, kemudian inti sel tersebut
dimasukkan kedalam lapisan sel telur domba, setelah inti selnya dibuang
kemudian ditanamkan kedalan rahim domba agar memperbanyak diri, berkembang
berubah menjadi janin dan akhirnya di hasilkan bayi domba. Pada akhirnya domba
ini mempunyai kode genetic yang sama dengan domba pertama yang menjadi sumber
pengambilan sel ambing.5
3.
Kloning pada embrio
Kloning embrio tejadi pada sel
embrio yang berasal dari rahim istri yang terbentuk dari pertemuan antara sel
sperma suaminya dengan sel telurnya lalu sel embrio itu dibagi dengan satu
teknik perbanyakan menjadi beberapa sel embrio yang berpotensi untuk membelah
dan berkembang. Kemudian sel-sel embrio itu dipisahkan agar masing-masing
menjadi embrio tersendiri yang persis sama dengan sel embrio pertama yang
menjadi sumber pengambilan sel. Selanjutnya sel-sel embrio itu dapat ditanamkan
dalam rahim perempuan asing (bukan isteri), atau dalam rahim isteri kedua dari
suami bagi isteri pertama pemilik sel telur yang telah dibuahi tadi. Yang
selanjutnya akan menghasilkan lebih dari satu sel embrio yang sama dengan
embrio yang sudah ada. Lalu akan terlahir anak kembar yang terjadi melalui
proses Kloning embrio ini dengan kode genetik yang sama dengan embrio pertama
yang menjadi sumber Kloning.
4.
Kloning pada manusia
Kloning pada manusia terdapat dua
cara. Petama, Kloning manusia dapat berlangsung dengan adanya laki-laki dan
perempuan dalam prosesnya. Proses ini dilaksanakan dengan mengambil sel dari
tubuh laki-laki, lalu inti selnya diambil dan kemudian digabungkan dengan sel
telur perempuan yang telah dibuang inti selnya. Sel telur ini –setelah
bergabung dengan inti sel tubuh laki-laki– lalu ditransfer ke dalam rahim
seorang perempuan agar dapat memeperbanyak diri, berkembang, berubah menjadi
janin, dan akhirnya dilahirkan sebagai bayi. Bayi ini merupakan keturunan
dengan kode genetik yang sama dengan laki-laki yang menjadi sumber pengambilan
sel tubuh.
Kedua, Kloning manusia dapat pula
berlangsung di antara perempuan saja tanpa memerlukan kehadiran laki-laki.
Proses ini dilaksanakan dengan mengambil sel dari tubuh seorang perempuan,
kemudian inti selnya diambil dan digabungkan dengan sel telur perempuan yang
telah dibuang inti selnya. Sel telur ini –setelah bergabung dengan inti sel
tubuh perempuan– lalu ditransfer ke dalam rahim perempuan agar memperbanyak
diri, berkembang, berubah menjadi janin, dan akhirnya dilahirkan sebagai bayi.
Bayi yang dilahirkan merupakan keturunan dengan kode genetik yang sama dengan
perempuan yang menjadi sumber pengambilan sel tubuh. Hal tersebut mirip dengan
apa yang telah berhasil dilakukan pada hewan domba.
Adapun pewarisan sifat yang terjadi
dalam proses Kloning, sifat-sifat yang diturunkan hanya berasal dari orang yang
menjadi sumber pengambilan sel tubuh, baik laki-laki maupun perempuan. Dan anak
yang dihasilkan akan memiliki ciri yang sama dengan induknya dalam hal
penampilan fisiknya –seperti tinggi dan lebar badan serta warna kulit– dan juga
dalam hal potensi-potensi akal dan kejiwaan yang bersifat asli. Dengan kata
lain, anak tersebut akan mewarisi seluruh ciri-ciri yang bersifat asli dari
induknya. Sedangkan ciri-ciri yang diperoleh melalui hasil usaha, tidaklah
dapat diwariskan. Jika misalnya sel diambil dari seorang ulama yang faqih, atau
mujtahid besar, atau dokter yang ahli, maka tidak berarti si anak akan mewarisi
ciri-ciri tersebut, sebab ciri-ciri ini merupakan hasil usaha, bukan sifat
asli.
2.3.2
Manfaat dan Kerugian Kloning
Adapun manfaat dari Kloning
diantaranya adalah:
1.
Kloning pada tanaman dan hewan adalah untuk memperbaiki
kualitas tanaman dan hewan, meningkatkan produktivitasnya.
2.
Mencari obat alami bagi banyak penyakit manusia-terutama
penyakit-penyakit kronis-guna menggantikan obat-obatan kimiawi yang dapat
menimbulkan efek samping terhadap kesehatan manusia.6
3.
Untuk memperoleh hormone pertumbuhan, insulin, interferon,
vaksin, terapi gen dan diagnosis penyakit genetic.7
Selain terdapat banyak manfaat
Kloning juga menimbulkan kerugian, antara lain:
1. Kloning pada manusia akan
menghilangkan nasab.
2. Kloning pada perempuan saja tidak
akan mempunyai ayah.
3. Menyulitkan pelaksanaan hokum-hukum
syara’. Seperti, hokum pernikahan, nasab, nafkah, waris, hubungan kemahraman,
hubungan ‘ashabah, dan lain-lain.8
2.3.3
Hukum Kloning
Menurut syara’ hokum Kloning pada
tumbuhan dan hewan tidak apa-apa untuk dilakukan dan termasuk aktivitas yang
mubah hukumnya. Dari hal itu memanfaatkan tanaman dan hewan dalam proses
Kloning guna mencari obat yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit manusia
–terutama yang kronis– adalah kegiatan yang dibolehkan Islam, bahkan hukumnya
sunnah (mandub), sebab berobat hukumnya sunnah. Begitu pula memproduksi
berbagai obat-obatan untuk kepentingan pengobatan hukumnya juga sunnah. Imam
Ahmad telah meriwayatkan hadits dari Anas RA yang telah berkata, bahwa
Rasulullah SAW berkata:
“Sesungguhnya
Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia menciptakan pula
obatnya. Maka berobatlah kalian !”
Imam Abu Dawud
dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Usamah bin Syuraik RA, yang berkata:
”Aku pernah
bersama Nabi, lalu datanglah orang-orang Arab Badui. Mereka berkata,’Wahai
Rasulullah, bolehkah kami berobat ?”
Maka Nabi SAW
menjawab :
“Ya. Hai
hamba-hamba Allah, berobatlah kalian, sebab sesungguhnya Allah Azza wa Jalla
tidaklah menciptakan penyakit kecuali menciptakan pula obat baginya…”
Oleh karena itu, dibolehkan
memanfaatkan proses Kloning untuk memperbaiki kualitas tanaman dan mempertinggi
produktivitasnya atau untuk memperbaiki kualitas hewan seperti sapi, domba,
onta, kuda, dan sebagainya. Juga dibolehkan memanfaatkan proses Kloning
untuk mempertinggi produktivitas hewan-hewan tersebut dan
mengembangbiakannya, ataupun untuk mencari obat bagi berbagai penyakit manusia,
terutama penyakit-penyakit yang kronis. Demikianlah hukum syara’ untuk Kloning
manusia, tanaman dan hewan.9
Kloning pada manusia haram menurut
hukum Islam dan tidak boleh dilakukan. Dalil-dalil keharamannya adalah sebagai
berikut :
1. Anak-anak produk proses Kloning
tersebut dihasilkan melalui cara yang tidak alami. Padahal justru cara alami
itulah yang telah ditetapkan oleh Allah untuk manusia dan dijadikan-Nya sebagai
sunnatullah untuk menghasilkan anak-anak dan keturunan. Allah SWT berfirman :
وَأَنَّهُ خَلَقَ الزَّوْجَيْنِ
الذَّكَرَ وَالْاُنْثَى مِنْ نُطْفَطٍ إِذَا تُمْنَى
“dan Bahwasanya Dialah yang
menciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan, dari air mani apabila
dipancarkan.” (QS. An Najm : 45-46)
Allah SWT berfirman :
“Bukankah dia dahulu setetes mani
yang ditumpahkan (ke dalam rahim), kemudian mani itu menjadi segumpal darah,
lalu Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya.” (QS. Al Qiyaamah : 37-38)
1. Hukum Kloning menurut MUI
Musyawarah Nasional VI Majelis Ulama
Indonesia yang diselenggarakan pada tangga123-27 Rabi’ul Akhir 1421 H. / 25-29
Juli 2000 M. dan membahas tentang Kloning, setelah
Menimbang,
1. bahwa salah satu hasil kemajuan yang
dicapai oleh iptek adalah Kloning, yaitu “suatu proses penggandaan makhluk
hidup dengan cara nucleus transfer dari sel janin yang sudah beerdiferensiasi
dari sel dewasa”, atau “penggandaan makhluk hidup menjadi lebih banyak, baik
dengan memindahkan inti sel tubuh ke dalam indung telur pada tahap sebelum
terjadi pemisahan sel-sel bagian-bagian tubuh”
2. bahwa masyarakat senantiasa
mengharapkan penjelasan hukum Islam tentang Kloning, baik Kloning terhadap
tumbuh-tumbuhan, hewan, dan terutama Kloning terhadap manusia;
3. bahwa oleh karena itu, MUI dipandang
perlu untuk menetapkan fatwa tentang hukum Kloning untuk dijadikan pedoman.
Memperhatikan:
1. Kloning tidak sama dengan, dan
sedikit pun tidak berarti, penciptaan, melainkan hanya sekedar penggandaan.
2. Secara umum, Kloning terhadap
tumbuh-tumbuhan dan hewan akan membawa kemanfaatan dan kemaslahatan kepada umat
manusia.
3. Kloning terhadap manusia dapat
membawa manfaat, antara lain : rekayasa genetik lebih efisien dan manusia tidak
perlu khawatir akan kekurangan organ tubuh pengganti (jika memerlukan) yang
biasa diperoleh melalui donor, dengan Kloning ia tidak akan lagi merasa
kekurangan ginjal, hati, jantung, darah, dan sebagainya, karena ia bisa
mendapatkannya dari manusia hasil teknologi Kloning.
4. Kloning terhadap manusia juga dapat
menimbulkan mafsadat (dampak negatif yang tidak sedikit; antara lain :
1. menghilangkan nasab anak hasil
Kloning yang berakibat hilangnya banyak hak anak dan terabaikan-nya sejumlah
hukum yang timbul dari nasab;
2.
institusi perkawinan yang telah
disyari’atkan sebagai media berketurunan secara sah menjadi tidak diperlukan
lagi, karena proses reproduksi dapat dilakukan tanpa melakukan hubungan
seksual;
3.
lembaga keluarga (yang dibangun melalui
perkawinan) akan menjadi hancur, dan pada gilirannya akan terjadi pula
kehancuran moral (akhlak), budaya, hukum, dan syari’ah Islam lainnya;
4. tidak akan ada lagi rasa saling
mencintai dan saling memerlukan antara laki-laki dan perempuan;
5.
hilangnya maqashid syari’ah dari
perkawinan, balk maqashid awwaliyah (utama) maupun maqashid tabi’ah (sekunder).
1.
Pendapat dan saran peserta sidang.
Mengingat
1.
Firman Allah S WT : “Dan Dia
menundukkan untuk kamu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya
(sebagai rahmat) dariNva. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir” (QS.
al-Jatsiyah [45].- 13).
2.
Firman Allah SWT : “Dan Kami telah
memuliakan anak-anakAdam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami
beri mereka rezki dari Yang baik-baik, dan Kami lebihkan mereka dengan
kelebihan yang sempurna atas rraakhluk vang telah Kami ciptakan ” (QS. al-Isra’[I7]:
70).
8. Firman Allah SWT : “..f apakah mereka menjadikan beberapa sekutu bagi Allah yang dapat menciptakan seperti ciptaan-Nva sehingga kedua ciptaan itu serupa menurut pandangan mereka. Katakanlah, ‘Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dialah Tuhan Yang Mahaesa lagi Mahaperkasa (QS. al-Ra’d [13]: 16)
8. Firman Allah SWT : “..f apakah mereka menjadikan beberapa sekutu bagi Allah yang dapat menciptakan seperti ciptaan-Nva sehingga kedua ciptaan itu serupa menurut pandangan mereka. Katakanlah, ‘Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dialah Tuhan Yang Mahaesa lagi Mahaperkasa (QS. al-Ra’d [13]: 16)
3.
firman Allah SWT : “Dan sesungguhnya
Kami telah menciptakar manusia dari saripati (berasal) dari tanah. Kemudiar
Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan ; dalam tempat yang kokoh
(rahim). Kemudian air man: itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpa. darah
itu Kami jadikan segumpal daging, dar. segumpal daging itu Kami jadikan tulang
belulan, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan dagiri 27 Kemudian Kami
jadikan dia makhluk (berbentuk) lain. Maha sucilah Allah, Pencipta Paling baik”
(QS. al-Mu’minun (23]: 12-14).
4. Kaidah Fiqhiyah : “Menghindarkan
kerusakan (hal-hal yang negatif) diutamakan dari pada mendatangkan
kemaslahatan”
5. MEMUTUSKAN
Menetapkan
Menetapkan
1. Fatwa musyawarah nasional n-i majelis
ulama indonesia tentang Kloning.
2. Kloning terhadap manusia dengan cara
bagaimanapuyang berakibat pada pelipatgandaan manusia hukumnya adalah haram.
3. Kloning terhadap tumbuh-tumbuhan dan
hewan hukumnya boleh (mubah) sepanjang dilakukan demi kemaslahatan dan/atau
untuk menghindarkakemudaratan (hal-hal negatif).
4. Mewajibkan kepada semua pihak
terkait untuk tidak melakukan atau mengizinkan eksperimen ata-_ praktek Kloning
terhadap manusia.
5. Mewajibkan kepada semua pihak,
terutama para ulama, untuk senantiasa mengikuti perkembangan teknologi Kloning,
meneliti peristilahan dan permasalahatannya, serta menyelenggarakan kajiarkaj
ian ilmiah untuk menj elaskan hukumnya.
6. Mewajibkan kepada semua pihak,
terutama ulama dan umara, untuk mendorong pembentukan (pendirian) dan mendukung
institusi-institusi ilmiah yang menyelenggarakan penelitian di bidang biologi
dan teknik rekayasa genetika pada selain bidang Kloning manusia yang sesuai
dengan prinsip-prinsip syari’ah.
7.
Mewajibkan kepada semua pihak, terutama
ulama dan umara, untuk segera merumuskan kriteria dan kode etik penelitian dan
eksperimen bidang biologi untuk dijadikan pedoman bagi pihak-pihak yang
memerlukannya.
8. Keputusan fatwa ini mulai berlaku
pada tanggal ditetapkan. Agar setiap muslim yang memerlukan dapat mengetahuinya,
menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini.
2.4
BUNUH DIRI
Bunuh diri adalah perbuatan
menghentikan hidup sendiri yang dilakukan oleh individu itu sendiri atau atas
permintaannya.
Betapapun kebudayaan dan pola pikir manusia, memberikan berbagai alasan dan
definisi maksud yang berbeda-beda tentang bunuh diri ini. Namun, tetap saja
pada intinya adalah "keputus-asaan".
Sebab orang yang tidak berputus asa
dan bersedia tetap menjalani kehidupan seberat dan seburuk apapun, maka ia
tidak akan pernah melakukan kegiatan bunuh diri ini. Sebab ia sadar, bahwa
hidup ini memang penuh cobaan-cobaan berat dan pahit, jadi bunuh diri baginya
hanyalah tindakan sia-sia dan pengecut. Sebab masih banyak hal-hal yang bisa
dilakukan dalam hidup ini, dan segala sesuatu pastilah ada batasnya. Sebab
betapapun beratnya persoalan, tetap saja ia memiliki batas akhir
(penyelesaian), walaupun permasalahan itu harus selesai oleh waktu, tapi ia
selesai juga.
Dalam pandangan islam hal ini adalah
perbuatan yang sangat keji, dan termasuk dosa yang sangat besar. Dimana, kegiatan bunuh diri ini adalah
kegiatan manusia-manusia pengecut/pecundang hidup (looser), sebab
kekalahan memang sudah mutlak menjadi milik mereka jika mereka membunuh dirinya
sendiri.
2.4.1 Motif bunuh diri
Pada dasarnya, segala sesuatu itu
memiliki hubungan sebab akibat (ini adalah sistematika). Dalam hubungan sebab
akibat ini akan menghasilkan suatu alasan atau sebab tindakan yang disebut
motif.
Motif bunuh diri ada banyak
macamnya. Disini penyusun menggolongkan dalam kategori sebab, misalkan :
1. Dilanda keputusasaan dan depresi
2. Cobaan hidup dan tekanan lingkungan.
3. Gangguan kejiwaan / tidak waras
(gila).
4. Himpitan Ekonomi atau Kemiskinan
(Harta / Iman / Ilmu)
5. Penderitaan karena penyakit yang
berkepanjangan.
Dalam ilmu sosiologi, ada tiga
penyebab bunuh diri dalam masyarakat, yaitu
1. egoistic suicide (bunuh diri karena
urusan pribadi),
2. altruistic suicide (bunuh diri untuk
memperjuangkan orang lain), dan
3. anomic suicide (bunuh diri karena
masyarakat dalam kondisi kebingungan).
2.4.2 Pandangan Islam
Ayat
Al-Qur'an tentang larangan bunuh diri
"Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan
janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu." (An-Nisa' : 29) "Maka (apakah) barangkali kamu
akan membunuh dirimu karena bersedih hati sesudah mereka berpaling, sekiranya
mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al Qur'an)." (QS.
Al-Kahfi ; 6)
Hadits-Hadits
tentang larangan bunuh diri
Hadits 86. (Shahih Muslim) Dari Abu Hurairah ra, katanya
Rasulullah saw., bersabda : “Siapa yang bunuh diri dengan senjata tajam,
maka senjata itu akan ditusuk-tusukannya sendiri dengan tangannya ke perutnya
di neraka untuk selama-lamanya; dan siapa yang bunuh diri dengan racun, maka
dia akan meminumnya pula sedikit demi sedikit nanti di neraka, untuk
selama-lamanya; dan siapa yang bunuh diri dengan menjatuhkan diri dari gunung,
maka dia akan menjatuhkan dirinya pula nanti (berulang-ulang) ke neraka, untuk
selama-lamanya.”
2.5
TRANSFUSI DARAH
Secara prinsip, Donor Darah merupakan amal mulia yang
dapat menyelamatkan nyawa banyak orang. Di antara kasus wabah demam berdarah
yang melanda, diberitakan bahwa seorang ibu mengantri beberapa hari di kantor
PMI demi sekantong darah bagi anak balitanya yang terjangkit demam berdarah
akut dan harus menjalani transfusi darah.
Kebetulan golongan darah yang diinginkan sedang kosong.
Pada hari ketiga saat sekantong darah yang diinginkan telah diperoleh, sang ibu
harus menghadapi kenyataan bahwa anaknya telah terlebih dahulu berpulang.
Kemudian disaat yang lain, seorang ibu yang tengah berjuang untuk melahirkan
anaknya, mengalami pendarahan yang hebat.
Ketika transfusi darah dibutuhkan, persediaan darah
sedang kosong dan terlambat diberikan. Pada akhirnya sang bayi mungil yang
lahir dengan selamat harus pula menghadapi kenyataan, dibesarkan tanpa kasih
sayang sang ibu kandungnya.
Tragedi kemanusiaan beruntun berupa bencana di Alor,
Nabire dan yang terdahsyat berupa gempa dan gelombang tsunami di Aceh, gempa
yang diikuti tsunami Bantul DIY, air bah Situ Gintung, ratusan bahkan ribuan
peristiwa semacam itu hampir tiap hari terjadi. Kecelakaan, perang, bencana dan
tragedi kemanusiaan lainnya hampir pasti membutuhkan bantuan dan ketersediaan
darah yang memadai. Peristiwa-peristiwa semacam itu semestinya menggugah
perasaan dan semangat solidaritas kemanusiaan. Sayangnya, informasi tentang
manfaat donor darah bagi kemanusiaan dan kesehatan selama ini kurang
terkomunikasikan dengan baik. Kita semua memahami betapa berharganya setetes
darah bagi pasien yang membutuhkannya. Dari sisi kesehatan banyak manfaat yang
diperoleh seseorang dengan melakukan donor darah. Di samping kontrol kesehatan
melalui pemeriksaan darah secara gratis, donor darah yang teratur dapat
meringankan kerja jantung dan terjaganya vitalitas karena lancarnya sirkulasi
dan regenerasi darah yang berkesinambungan. Dari sisi nilai ibadah, donor darah
merupakan kebajikan yang sangat mulia di mata agama. Sesuai ajaran Islam, donor
darah termasuk implementasi perintah Allah untuk saling menolong sesama
sebagaimana firman-Nya: ”Wa ta’awanuu ’alal birri wat taqwa wala ta’awanu ’ala
itsmi wal ’udwan” Artinya : ”Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah
kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Maidah:2)
Lebih dari itu, kemuliaan donor darah menjadi bagian
penting dari kemuliaan akhlaq karena mampu menyelamatkan, atau setidaknya
memperpanjang kehidupan yang Allah ciptakan sebagaimana firman-Nya:”Wa man
ahyaha fa kannama ahyan naasa jami’an” Artinya : ”Dan barangsiapa yang
memelihara dan menyelamatkan kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia
telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (QS. Al-Maidah: 32).
Dengan demikian para donor yang melangkah atas dasar
ketulusan dan keikhlasan digolongkan Allah dalam hamba-hamba-Nya yang terpuji
karena berkorban untuk mendahulukan kepentingan orang lain dari pada diri
sendiri sebagaimana firman-Nya: ”Wa yu’tsiruna ’ala anfusihim walau kaana bihim
khashashah” Artinya: ”Dan mereka mengutamakan kepentingan orang lain atas diri
mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kondisi membutuhkan. Dan siapa yang
dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
(QS. Al-Hasyr:9)
Harus disadari bahwa kadangkala tak semua dari kita
mampu memberikan harta yang dipunyai. Namun Tuhan tidak pernah menutup niat
hambanya untuk beramal. Ada peluang yang diberikanNya, yaitu harta yang ada di
tubuh kita sendiri yaitu darah. Disadari bahwa hal itu akan membawa banyak
manfaat bagi manusia lain. Untuk itu, amalan kita melalui donor darah tidak
perlu menunggu datangnya kemakmuran atau kekayaan. Alangkah terasa, syukur
nikmat tanpa mengeluarkan sedikit pun harta materi, namun menolong mereka yang
penuh harap. Tanpa kita sadari butiran darah yang disumbangkan ternyata dapat
menyelamatkan nyawa seorang ibu, seorang anak, seorang teman atau siapa pun
tanpa memandang ras suku agama dan berbagai perbedaan lainnya. Menyelamatkan
nyawa bukan berarti hanya sekadar nyawa, tetapi kehidupan yang panjang bagi
manusia. Menyelamatkan seorang ibu, berarti menyelamatkan keluarga, memberikan
jalan kebahagiaan bagi mereka, dan harapan untuk bangsa.
Sabda Nabi Muhammad SAW : “Khairunnas anfa’uhum linnas”
yang artinya : sebaik-baik manusia di antaramu adalah yang paling banyak
manfaatnya bagi orang lain (H.R. Bukhari). Semoga dengan amalan donor darah ini
kita termasuk golongan orang-orang yang terpuji di mata agama karena setidaknya
telah mampu bermanfaat bagi kehidupan sesama.
Dengan berbagai kemuliaan prinsip amal kebaikan kepada
orang lain dengan donor darah tersebut, umat Islam secara umum juga masih
memerlukan kepastian ketentuan syariah terkait praktik dan dinamika dunia medis
terutama menyangkut kegiatan transfusi dan donor darah. Bagaimanakah pandangan
Islam terhadap usaha dan pelayanan kemanusiaan yang dilakukan Palang Merah
serta hukum memakainya sebagai simbol. Sebab ini sama artinya dengan Salib
Merah. Bagaimanakah hukum bekerja padanya.? Apa hukum transfusi darah dan
bagaimanakah hubungan antara resipien dan donor darah dari segi syariah.?
Bolehkah seseorang menjual darahnya, dan bagaimana status hukum imbalan ataupun
penghargaan materi yang diterima oleh donor.? Bila seorang pasien membutuhkan darah,
maka PMI menjualnya melalui Rumah Sakit kepada pasien tersebut, bolehkah hal
ini secara syariah?
Sebagaimana yang dikemukakan di awal bahwa pada
prinsipnya, usaha dan pelayanan sosial kemanusiaan sangat mulia dalam pandangan
umat manusia secara universal dan terpuji dalam pandangan agama, termasuk dalam
hal ini adalah kegiatan dan misi kemanusiaan Palang Merah Indonesia. Rasulullah
saw menyatakan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaat
(jasanya) bagi umat manusia. Hal itu tentunya terlepas dari makna filosofis dan
religius simbolis dari pemakaian nama organisasi. Memang pemakaian lambang
palang merah atau salib merah (red cross) untuk organisasi ini adalah meniru
Barat yang pada mulanya sangat erat hubungannya dengan semangat relijiusitas
Nasrani/Kristiani dan menggunakannya sebagai simbol misi kemanusiaan sekaligus
misi Salib yaitu penyebaran agama Nasrani.
Memang sangat disayangkan umat Islam Indonesia yang
merupakan mayoritas bangsa Indonesia kehilangan identitas keislamannya sampai
dalam masalah simbol dan lambang sosial, dan cenderung meniru dan mengambil
simbol Barat yang notabene sarat dengan semangat misi Kristiani. Padahal Islam
memiliki simbol religi sosial tersendiri yakni bulan sabit yang menandakan
siklus bulan hijriyah sebagai perjalanan syiar Islam dan oleh karenanya Dunia
Arab dan Negara-Negara Islam lebih cenderung menggunakan lambang Bulan Sabit
Merah (Hilal Ahmar/ Red Crescent) untuk organisasi sosial kemanusiaan semacam
Palang Merah. Nabi saw selalu menganjurkan kepada umatnya untuk memiliki
identitas independen dan menghindari mental imitator yang suka meniru dan
taklid buta kepada simbol umat lain apalagi yang berbau ritual dan syiar
keagamaan. Sabda Nabi saw.: “Berbedalah kalian dari umat Yahudi dan Nasrani”
(HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Al-Nasa’I dan Ibnu Majah) dan sabdanya:
“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum (umat lain) maka ia termasuk golongan
mereka.” (HR. Abu Dawud dan At-Tabrani)
Dengan demikian kewajiban umat Islam baik pemerintah
maupun masyarakat pada umumnya adalah menyadari hal ini dan berusaha untuk
mendekatkan lembaga dan simbol sosial sesuai dengan aspirasi aqidah dan syiar
Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia. Adapun hukum bekerja padanya selama
membawa misi kemanusiaan adalah merupakan amal yang terpuji sebagai ibadah
sosial apalagi dibarengi dengan nilai-nilai dakwah Islam yang menjadi kewajiban
setiap muslim.
Masalah transfusi
darah yaitu memindahkan darah dari seseorang kepada
orang lain untuk menyelamatkan jiwanya. Islam tidak melarang seorang muslim
atau muslimah menyumbangkan darahnya untuk tujuan kemanusiaan, bukan
komersialisasi, baik darahnya disumbangkan secara langsung kepada orang yang
memerlukannya, misalnya untuk anggota keluarga sendiri, maupun diserahkan pada
palang merah atau bank darah untuk disimpan sewaktu-waktu untuk menolong orang
yang memerlukan.
Penerima sumbangan darah tidak disyariatkan harus sama
dengan donornya mengenai agama/kepercayaan, suku bangsa, dsb. Karena
menyumbangkan darah dengan ikhlas adalah termasuk amal kemanusiaan yang sangat
dihargai dan dianjurkan (mandub) oleh Islam, sebab dapat menyelamatkan jiwa
manusia, sesuai dengan firman Allah: “dan barang siapa yang memelihara
kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah ia memelihara kehidupan manusia
semuanya.” (QS. Al-Maidah:32).
Jadi boleh saja mentransfusikan darah seorang muslim
untuk orang non muslim dan sebaliknya, demi menolong dan saling menghargai
harkat sesama umat manusia. Sebab Allah sebagai Khalik alam semesta termasuk
manusia berkenan memuliakan manusia, sebagaimana firman-Nya: “dan sesungguhnya
Kami memuliakan anak cucu Adam (manusia).” (QS. Al-Isra:70). Maka sudah
seharusnya manusia bisa saling menolong dan menghormati sesamanya.
Adapun dalil syar’i yang menjadi dasar untuk membolehkan
transfusi darah tanpa mengenal batas agama dan sebagainya, berdasarkan kaidah
hukum fiqih Islam yang berbunyi: “Al-Ashlu Fil Asyya’ al-Ibahah Hatta Yadullad
Dalil ‘Ala Tahrimihi” (bahwasanya pada prinsipnya segala sesuatu itu boleh
hukumnya, kecuali ada dalil yang mengharamkannya). Padahal tidak ada satu ayat
dan hadits pun yang secara eksplisit atau dengan nash yang shahih, melarang
transfusi darah, maka berarti transfusi darah diperbolehkan, bahkan donor darah
itu ibadah, jika dilakukan dengan niat mencari keridhaan Allah dengan jalan
menolong jiwa sesama manusia.
Namun untuk memperoleh maslahat (efektivitas positif)
dan menghindari mafsadah (bahaya/risiko), baik bagi donor darah maupun bagi
penerima sumbangan darah, sudah tentu transfusi darah itu harus dilakukan
setelah melalui pemeriksaan yang teliti terhadap kesehatan keduanya, terutama
kesehatan pendonor darah; harus benar-benar bebas dari penyakit menular,
seperti AIDS dan HIV. Penyakit ini bisa menular melalui transfusi darah,
suntikan narkoba, dll.
Jelas bahwa persyaratan dibolehkannya transfusi darah
itu berkaitan dengan masalah medis, bukan masalah agama. Persyaratan medis ini
harus dipenuhi, karena adanya kaidah-kaidah fiqih seperti: “Adh-Dhararu Yuzal”
(Bahaya itu harus dihilangkan/ dicegah). Misalnya bahaya penularan penyakit
harus dihindari dengan sterilisasi, dsb., “Ad-Dhararu La Yuzalu Bidharari
Mitslihi” (Bahaya itu tidak boleh dihilangkan dengan bahaya lain). Misalnya
seorang yang memerlukan transfusi darah karena kecelakaan lalu lintas atau
operasi, tidak boleh menerima darah orang yang menderita AIDS, sebab bisa
mendatangkan bahaya lainnya yang lebih fatal. Dan Kaidah “La Dharara wa La
Dhirar” (Tidak boleh membuat mudarat kepada dirinya sendiri dan tidak pula
membuat mudarat kepada orang lain). Misalnya seorang pria yang terkena AIDS
tidak boleh kawin sebelum sembuh. Demikian pula seorang yang masih hidup tidak
boleh menyumbangkan ginjalnya kepada orang lain karena dapat membahayakan
hidupnya sendiri. Kaidah terakhir ini berasal dari hadits riwayat Malik, Hakim,
Baihaqi, Daruquthni dan Abu Said al-Khudri. Dan riwayat Ibnu Majah dari Ibnu
Abbas dan Ubadah bin Shamit.
Adapun hubungan antara donor dan resipien, adalah bahwa
transfusi darah itu tidak membawa akibat hukum adanya hubungan kemahraman
antara donor dan resipien. Sebab faktor-faktor yang dapat menyebabkan
kemahraman sudah ditentukan oleh Islam sebagaimana tersebut dalam An-Nisa:23,
yaitu: Mahram karena adanya hubungan nasab. Misalnya hubungan antara anak
dengan ibunya atau saudaranya sekandung, dsb, karena adanya hubungan perkawinan
misalnya hubungan antara seorang dengan mertuanya atau anak tiri dan istrinya
yang telah disetubuhi dan sebagainya, dan mahram karena adanya hubungan
persusuan, misalnya hubungan antara seorang dengan wanita yang pernah
menyusuinya atau dengan orang yang sesusuan dan sebagainya.
Kemudian pada ayat berikutnya, (an-Nisa:24) ditegaskan
bahwa selain wanita-wanita yang tersebut pada An-Nisa:23 di atas adalah halal
dinikahi. Sebab tidak ada hubungan kemahraman. Maka jelaslah bahwa transfusi
darah tidak mengakibatkan hubungan kemahraman antara pendonor dengan resipien.
Karena itu perkawinan antara pendonor dengan resipien itu diizinkan oleh hukum
Islam.
Selain, masalah hukum donor dan transfusi darah, di
lapangan juga muncul praktik jual beli darah baik dilakukan secara resmi oleh
pihak PMI maupun ilegal oleh oknum. Bahkan tidak jarang secara personal terjadi
transaksi jual-beli darah.
2.6 TRANSPLANTASI ORGAN
Transplantasi merupakan pemindahan
sebuah organ atau lebih dari dari seorang manusia pada saat masih hidup atau
setelah mati kepada manusia lain dengan tujuan memperoleh penyembuhan dari
suatu penyakit.
2.6.1 Syarat Transplantasi Organ
1.
Transplantasi organ
ketika pendonor masih hidup yang dimaksud disini adalah donor anggota tubuh
manusia bagi siapa saja yang memutuhkan pada saat si donor masih hidup.Syaratnya
yaitu, donor tersebut tidak mengakibatkan kematian si pendonor.
2.
Transplantasi organ
yang dilakukan pada pendonor yang sudah mati
adapun transplantasi setelah kehidupan ; hukumnya berbeda dengan donor ketika masih hidup.dengan mengkaji anggota tubuh yang akan ditrandplantasikan, maka:
adapun transplantasi setelah kehidupan ; hukumnya berbeda dengan donor ketika masih hidup.dengan mengkaji anggota tubuh yang akan ditrandplantasikan, maka:
Adakalanya penyelamatan hidup
manusia tergantung pada transplantasi (tentu berdasarkan dugaan kuat) seperti
jantug, hati maupun kedua ginjal
Adakalanya transplantasi anggota tubuhyang tidak berhubungan dengan penyelamtan hidup. Misalnya transplantasi kornea, atau pupil atau mata secara keseluruhan dari orang yang telah mati.
Adakalanya transplantasi anggota tubuhyang tidak berhubungan dengan penyelamtan hidup. Misalnya transplantasi kornea, atau pupil atau mata secara keseluruhan dari orang yang telah mati.
2.6.2
PERSOALAN2 ETIS DALAM TRANSPLANTASI ORGAN
Tinjauan
agama islam tentang transplantasi organ literatur Islam mengenai isu ini didominasi
oleh pendekatan fikih (hukum/jurisprudensi) dan persoalan utama yang mendominasi
fikih biasanya terbatas pada masalah halal-haram, meskipun tidak selalu dmikian.
Dalam Islam, pertanyaan penting mengenai apakah pencangkokan organ diperbolehkan
oleh agama?
Hal
ini dijawab dengan merujuk pada sumber tekstual utama (Qur’an dan hadist)
maupun kitab2 hukum fikih.
Dari
segi metodologi, untuk menjawab masalah kntemporer, ulama mencari kasus 2 yang
dibahas dalam kitab2 lama itu, atau kasus- yang analog dengannya. Pengambilan
sepeti ini dibimbing oleh seperangkat umum yang disebut usul fikih
(prinsip-prinsip fikih). Diantarany ada prinsip pertimbangan manfaat dan mudarat
(keburukan) dari suatu keputusan; prisip mendahulukan menghidari keburukan;
prinsip bahwa manfaat yang sangat besar dapat mengatasi keburukan intern yang
lebih kecil; prisip darurat (sesuatu yang dalam keadaan normal tidak
diperbolehkan,tapi dalam keadaan darurat diperbolehkan);prinsip maslahah atau
kesejahteraan public.
Pandangan yang menentang
pencangkokan organ diajukan atas dasar setidaknya tiga alasan :
Kesucian hidup/tubuh
manusia : setiap bentuk agresi terhadap tubuh manusia dilarang, karena ada
beberapa perintah yang jelas mengenai ini dalam Al Qur’an. Dalam kaitan ini ada
satu hadist Nabi Muhammad SAW yang terkenal yang sering dikutip untuk menunjkan
dilarangnya manipulasi atas tubuh manusia, meskipun sudah menjadi mayat :
“mematahkan tulang mayat seseorang adalah sama berdosa dan melanggarnya dengan
mematahkan tulang orang itu ketika masih hidup.”
Tubuh manusia adalah
amanah : hidup, diri, dan tubuh manusia pada dasarnya adalah bukan miliknya
sendiri, tapi pinjaman dari Tuhan dengan syarat untuk dijaga, karena itu
manusia tiak memilikihak mendonorkannya pada orang lain.
Tubuh tak boleh
diperlakukan sebagai benda mterial semata : pencangkokan dilkukan engan
mengerat organ tubuh seseorang untuk dicangkokan pada tubuh orang lain; disini
tubuh dianggap sebagai benda material semata yang bagian2nya bisa
dipindah-pindah.
Sedangkan pandangan yang
mendukung pencangkokan organ memiliki beberapa dasar, sebagai berikut :
Kesejahteraan publik
(maslahah) : pada dasarnya manipulasiorgan tak diperkenankan, meski demikian
ada beberapa pertimbanga lain yang bisa mengalahkan itu, yaitu potensinya untuk
menyelamatkan hidup manusia, yang mendapat bobot tinggi dalam Islam. Dengan
alasan inipun, ada beberapa kualifiakasi yang mesti diperhatikan :
Pencangkokan organ boleh
dilkukan jika tak ada alternatif lain untuk menyelamatkan nyawa.
2.7 KB (
Keluarga Berencana )
Hukum asal membatasi atau mengatur jumlah keturunan
(baca: Keluarga Berencana) dalam Islam adalah diharamkan, karena menyelisihi petunjuk
syariat Islam yang melarang keras perbuatan tabattul (hidup
membujang selamanya) (Dalam hadits shahih Riwayat Ahmad (3/158 dan 3/245) dan
Ibnu Hibban (no. 4028), dishahihkan oleh syaikh al-Albani dalam Irwa-ul
Ghalil (6/195)), dan memerintahkan untuk menikahi perempuan yang subur
(banyak anak). Oleh karena itu, mengonsumsi pil pencegah kehamilan atau
obat-obatan lainnya untuk mencegah kehamilan tidak diperbolehkan (dalam agama
Islam), kecuali dalam kondisi-kondisi darurat (terpaksa) yang jarang terjadi
(Fatawa Lajnah Daaimah (19/319) no (1585) yang dipimpin oleh syaikh ‘Abdul
‘Aziz bin Baz, dengan sedikit penyesuaian).
Ketika menjelaskan hikmah agung diharamkannya membatasi
keturunan, imam Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz berkata: “Barangsiapa yang memperhatikan
keterangan yang telah kami sampaikan dan keterangan para ulama yang kami
nukilkan (sebelumnya), dia akan mengetahui (dengan yakin) bahwa pendapat yang
membolehkan untuk membatasi keturunan adalah pendapat yang berseberangan dengan
syariat Islam yang sempurna, yang (selalu berusaha) mewujudkan dan
menyempurnakan kemaslahatan (kebaikan bagi manusia), serta menolak dan
memperkecil kemudharatan (keburukan/kerusakan bagi manusia). (Bahkan pendapat
ini) bertentangan dengan fitrah manusia yang suci, karena Allah ta’ala
menjadikan fitrah suci manusia untuk mencintai anak-anak dan mengusahakan
sebab-sebab untuk memperbanyak keturunan. Sungguh Allah dalam al-Qur-an telah
menjadikan banyaknya keturunan sebagai anugerah (bagi manusia) dan
menjadikannya termasuk perhiasan (kehidupan) dunia. Allah ta’ala
berfirman:
وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ
مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ
“Allah menjadikan bagimu istri-istri dari jenismu
sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istrimu itu anak-anak dan cucu-cucu,
dan memberimu rezeki dari yang baik-baik.” (Qs.
an-Nahl: 72)
Allah ta’ala juga berfirman:
الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
“Harta dan anak-anak adalah perhiasaan kehidupan
dunia.” (Qs. al-Kahfi: 46)
(Kemudian) barangsiapa yang memperhatikan pembahasan
masalah ini (dengan seksama) dia akan mengetahui bahwa pendapat yang
membolehkan untuk membatasi keturunan adalah pendapat yang bertentangan dengan
kemaslahatan (kebaikan) umat Islam (sendiri). Karena sungguh banyaknya
keturunan (kaum muslimin) termasuk sebab kekuatan, kemuliaan, keperkasaan dan
kewibawaan umat Islam (di hadapan umat-umat lain). Sedangkan membatasi
keturunan bertentangan dengan semua (tujuan) tersebut, karena menjadikan
sedikitnya (jumlah) dan lemahnya kaum muslimin, bahkan menjadikan musnah dan
punahnya umat ini. Ini adalah perkara yang jelas bagi semua orang yang berakal
dan tidak butuh argumentasi (untuk membuktikannya) (Majmu’u Fatawa wa
Maqaalaat Syaikh Bin Baaz (3/19). Lihat juga tulisan syaikh Muhammad bin
Jamil Zainu Bahayanya Membatasi Keturunan dalam “Muallafaatusy syaikh
Muhammad bin Jamil Zainu” (8/16)).
Oleh karena itulah, Syaikh Shaleh al-Fauzan menegaskan
bahwa pembatasan jumlah keturunan adalah pemikiran buruk yang disusupkan
musuh-musuh Islam ke dalam tubuh kaum muslimin, dengan tujuan untuk melemahkan
dan memperkecil jumlah kaum muslimin (Al-Muntaqa Min fatawa al-Fauzan,
69/20).
2.7.1 Berbagai
alasan mengapa ber-KB dalam tinjauan syariat Islam
Adapun alasan-alasan yang di kemukakan oleh kebanyakan orang
yang melakukan KB, seperti kekhawatiran tidak cukupnya
rezeki atau kesulitan mendidik anak, maka ini adalah alasan-alasan yang sangat
bertentangan dengan petunjuk Islam, bahkan mengandung buruk sangka kepada Allah
ta’ala.
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin berkata: “…Kalau
yang menjadi pendorong melakukan pembatasan keturunan adalah kekhawatiran akan
kurangnya rezeki, maka ini (termasuk) berburuk sangka kepada Allah ta’ala.
Karena Allah ta’ala Dialah yang menciptakan semua manusia, maka Dia
pasti akan mencukupkan rezeki bagi mereka…
Allah berfirman:
“Dan berapa
banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezekinya sendiri, Allah-lah
yang memberi rezeki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.” (Qs. al-’Ankabuut: 60)
Adapun jika pendorong melakukannya adalah kekhawatiran
akan susahnya mendidik anak, maka ini adalah (persangkaan) yang keliru, karena
betapa banyak (kita dapati) anak yang sedikit jumlahnya tapi sangat menyusahkan
(orang tua mereka) dalam mendidik mereka, dan (sebaliknya) betapa banyak (kita
dapati) anak yang jumlahnya banyak tapi sangat mudah untuk dididik jauh
melebihi anak yang berjumlah sedikit. Maka yang menentukan (keberhasilan)
pembinaan anak, susah atau mudahnya, adalah kemudahan (taufik) dari Allah ta’ala.
Jika seorang hamba bertakwa kepada Allah serta (berusaha) menempuh metode
(pembinaan) yang sesuai dengan syariat Islam, maka Allah akan memudahkan
urusannya (dalam mendidik anak), Allah ta’ala berfirman:
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia
akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya.” (Qs. ath-Thalaaq: 4) (Kutubu Wa Rasaa-ilu Syaikh Muhammad bin
Shaleh al-’Utsaimiin, 4/14).
Bahkan alasan membatasi keturunan seperti ini termasuk
tindakan menyerupai orang-orang kafir di jaman Jahiliyah, yang membunuh
anak-anak mereka karena takut miskin, hanya saja orang-orang di jaman sekarang
mencegah kelahiran anak karena takut miskin, adapun orang-orang di jaman
Jahiliyah membunuh anak-anak mereka yang sudah lahir karena takut miskin.
(Lihat ucapan syaikh Shaleh al-Fauzan dalam al-Muntaqa Min Fatawa al-Fauzan
(89/19), dan syaikh al-Albani dalam Aadaabuz Zifaaf (hal. 65)).
Allah ta’ala berfirman:
“Dan
janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan
memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka
adalah suatu dosa yang besar.” (Qs. al-Israa’: 31)
Dan masih banyak alasan-alasan lain yang di kemukakan
khususnya oleh para pengekor musuh-musuh Islam, yang mempropagandakan seruan
untuk membatasi jumlah keturunan. Semua alasan yang mereka kemukakan itu
disebutkan dan dibantah secara terperinci oleh Lajnah Daimah yang dipimpin oleh
imam syaikh Ibrahim bin Muhammad Alu Syaikh. (Lihat Majallatul Buhuutsil
Islaamiyyah (5/115-125)).
Kesimpulannya, semua alasan yang mereka kemukakan sangat
menyimpang jauh dari kebenaran dan petunjuk Islam, bahkan bertentangan dengan
kenyataan dan tuntutan fitrah kemanusiaan, bahkan lebih dari pada itu, (upaya)
untuk membatasi (jumlah keturunan) atau mencegah kehamilan dengan cara apapun
akan menimbulkan banyak bahaya dan kerusakan, baik dari segi agama, ekonomi,
politik, sosial, jasmani maupun rohani. (Majallatul Buhuutsil Islaamiyyah,
(5/127), dengan sedikit penyesuaian)
2.7.2 Perbedaan antara
membatasi (jumlah) keturunan dan mencegah kehamilan atau mengaturnya
Setelah kita mengetahui bahwa hukum asal Keluarga
Berencana adalah diharamkan karena sebab-sebab tersebut di atas, kecuali dalam
keadaan darurat dan dengan alasan yang benar menurut syariat, maka dalam hal
ini para ulama membedakan antara membatasi keturunan dan mencegah kehamilan
atau mengaturnya, sebagai berikut:
Membatasi (jumlah) keturunan: adalah menghentikan kelahiran (secara permanen) setelah keturunan
mencapai jumlah tertentu, dengan menggunakan berbagai sarana yang diperkirakan
bisa mencegah kehamilan. Tujuannya untuk memperkecil (membatasi) jumlah
keturunan dengan menghentikannya setelah (mencapai) jumlah yang ditentukan.
(Fatwa Haiati Kibarul ‘Ulama’ (5/114, Majallatul Buhuutsil Islaamiyyah).
Lihat juga keterangan syaikh al-’Utsaimin dalam Silsilatu Liqa-aatil Baabil
Maftuuh (31/133)).
Membatasi keturunan dengan tujuan seperti ini dalam
agama Islam diharamkan secara mutlak, sebagaimana keterangan Lajnah daaimah
yang dipimpin oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz (Fatawal Lajnatid Daaimah,
(9/62) no (1584)), demikian juga Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin (Silsilatu
Liqa-aatil Baabil Maftuuh, (31/133)), syaikh Shaleh al-Fauzan (Al-Muntaqa
Min Fatawa al-Fauzan (69/20)) dan Keputusan majelis al Majma’ al Fiqhil
Islami (Majallatul Buhuutsil Islaamiyyah (30/286)). Karena ini
bertentangan dengan tujuan-tujuan agung syariat Islam, seperti yang diterangkan
di atas.
Mencegah kehamilan: adalah menggunakan berbagai sarana yang diperkirakan bisa
menghalangi seorang perempuan dari kehamilan, seperti: al-’Azl
(menumpahkan sperma laki-laki di luar vagina), mengonsumsi obat-obatan
(pencegah kehamilan), memasang penghalang dalam vagina, menghindari hubungan
suami istri ketika masa subur, dan yang semisalnya (Fatwa Haiati Kibarul
‘Ulama’ (5/114 – Majallatul Buhuutsil Islaamiyyah)).
Pencegahan kehamilan seperti ini juga diharamkan dalam
Islam, kecuali jika ada sebab/alasan yang (dibenarkan) dalam syariat.
Syaikh Shaleh al-Fauzan berkata: “Aku tidak menyangka
ada seorang ulama ahli fikih pun yang menghalalkan (membolehkan) mengonsumsi
obat-obatan pencegah kehamilan, kecuali jika ada sebab (yang dibenarkan) dalam
syariat, seperti jika seorang wanita tidak mampu menanggung kehamilan (karena
penyakit), dan (dikhawatirkan) jika dia hamil akan membahayakan kelangsungan
hidupnya. Maka dalam kondisi seperti ini dia (boleh) mengonsumsi obat-obatan
pencegah kehamilan, disebabkan dia tidak (mampu) menanggung kehamilan, karena
kehamilan (dikhawatirkan) akan membahayakan hidupnya, maka dalam kondisi
seperti ini boleh mengonsumsi obat-obatan pencegah kehamilan, karena darurat
(terpaksa)… Adapun mengonsumsi obat-obatan pencegah kehamilan tanpa ada sebab
(yang dibenarkan) dalam syariat, maka ini tidak boleh (diharamkan), karena
kehamilan dan keturunan (adalah perkara yang) diperintahkan dalam Islam (untuk
memperbanyak jumlah kaum muslimin). Maka jika mengonsumsi obat-obatan pencegah
kehamilan itu (bertujuan untuk) menghindari (banyaknya) anak dan karena (ingin)
membatasi (jumlah) keturunan, sebagaimana yang diserukan oleh musuh-musuh
Islam, maka ini diharamkan (dalam Islam), dan tidak ada seorang pun dari ulama
ahli fikih yang diperhitungkan membolehkan hal ini. Adapun para ahli kedokteran
mungkin saja mereka membolehkannya, karena mereka tidak mengetahui hukum-hukum
syariat Islam (al-Muntaqa min fatawa al-Fauzan (89/25)).
Dalam fatwa Lajnah Daimah: “…Berdasarkan semua itu, maka
membatasi (jumlah keturunan) diharamkan secara mutlak (dalam Islam), (demikian
juga) mencegah kehamilan diharamkan, kecuali dalam kondisi-kondisi tertentu
yang jarang (terjadi) dan tidak umum, seperti dalam kondisi yang mengharuskan
wanita yang hamil untuk melahirkan secara tidak wajar, dan kondisi yang memaksa
wanita yang hamil melakukan operasi (caesar) untuk mengeluarkan bayi (dari
kandungannya), atau kondisi yang jika seorang wanita hamil maka akan
membahayakannya karena adanya penyakit atau (sebab) lainnya. Ini semua
dikecualikan dalam rangka untuk menghindari mudharat (bahaya) dan menjaga
kelangsungan hidup (bagi wanita tersebut), karena sesungguhnya syariat Islam
datang untuk mewujudkan kemaslahatan (kebaikan) dan mencegah kerusakan… (Majallatul
Buhuutsil Islaamiyyah (5/127)).
Mengatur kehamilan: adalah menggunakan berbagai sarana untuk mencegah kehamilan, tapi
bukan dengan tujuan untuk menjadikan mandul atau mematikan fungsi alat
reproduksi, tetapi tujuannya mencegah kehamilan dalam jangka waktu tertentu
(bukan selamanya), karena adanya maslahat (kebutuhan yang
dibenarkan dalam syariat) yang dipandang oleh kedua suami istri atau seorang
ahli (dokter) yang mereka percaya (Fatwa Haiati Kibarul ‘Ulama’ (5/114) Majallatul
Buhuutsil Islaamiyyah). Lihat juga keterangan syaikh al-’Utsaimin dalam Kutubu
Wa Rasaa-ilu Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimiin (4/15)).
Mengatur kehamilan seperti ini -sebagaimana yang
dijelaskan oleh Syaikh Muhammad al-’Utsaimin- boleh dilakukan dengan dua
syarat:
1). Adanya kebutuhan (yang dibenarkan dalam syariat), seperti jika
istri sakit (sehingga) tidak mampu menanggung kehamilan setiap tahun, atau
(kondisi) tubuh istri yang kurus (lemah), atau penyakit-penyakit lain yang
membahayakannya jika dia hamil setiap tahun.
2). Izin dari suami bagi istri (untuk mengatur kehamilan), karena
suami mempunyai hak untuk mendapatkan dan (memperbanyak) keturunan (Al
Fataawal Muhimmah (1/159-160) no. (2764)).
Syaikh Shaleh al-Fauzan berkata: “…Demikian pula
(diperbolehkan) mengonsumsi obat-obatan pencegah kehamilan, atau lebih tepatnya
penunda kehamilan, untuk jangka waktu tertentu (bukan seterusnya), karena
adanya suatu sebab (yang dibenarkan dalam syariat), seperti jika istri dalam
kondisi sakit, atau kelahiran yang banyak berturut-turut yang membuat istri
tidak mampu memberi makanan (ASI) yang cukup untuk bayinya, maka dia (boleh)
mengonsumsi obat penunda kehamilan, supaya dia bisa berkonsentrasi (untuk
mempersiapkan diri) menyambut kehamilan yang baru setelah selesai dari hamil
yang pertama, maka dalam kondisi (seperti) ini diperbolehkan (Al-Muntaqa
Min Fatawa al-Fauzan (89/24-25)).
Dalam fatwa Lajnah Daimah yang dipimpin oleh Syaikh Bin
Baz: “…Adapun mengatur keturunan yaitu (dengan) menunda kehamilan karena alasan
yang benar (sesuai syariat), seperti (kondisi) istri yang lemah (sehingga)
tidak mampu (menanggung) kehamilan, atau kebutuhan untuk menyusui bayi yang
sudah lahir, maka ini diperbolehkan untuk kebutuhan tersebut (Fatawal
Lajnatid Daaimah (19/428) no (16013)).
yang perlu diperhatikan di sini, bahwa kondisi lemah,
payah dan sakit pada wanita hamil atau melahirkan yang dimaksud di sini adalah
lemah/sakit yang melebihi apa yang biasa dialami oleh wanita-wanita hamil dan
melahirkan pada umumnya, sebagaimana yang diterangkan dalam fatwa Lajnah Daimah
(Fatawal Lajnatid Daaimah (19/319) no (1585)). Karena semua wanita
yang hamil dan melahirkan mesti mengalami sakit dan payah, Allah berfirman:
حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهاً وَوَضَعَتْهُ كُرْهاً
“…Ibunya mengandungnya dengan susah payah dan
melahirkannya dengan susah payah (pula)” (Qs.
al-Ahqaaf: 15).
2.7.3 Penggunaan
alat kontrasepsi dan obat pencegah hamil
Setelah kita mengetahui bahwa para ulama membolehkan
penggunaan obat pencegah kehamilan dan alat kontrasepsi jika ada sebab yang
dibenarkan dalam syariat, maka dalam menggunakannya harus memperhatikan
beberapa hal berikut:
1) Sebelum menggunakan alat kontrasepsi/obat anti hamil
hendaknya berkonsultasi dengan seorang dokter muslim yang dipercaya agamanya,
sehingga dia tidak gampang membolehkan hal ini, karena hukum asalnya adalah
haram, sebagaimana penjelasan yang lalu. Ini perlu ditekankan karena tidak
semua dokter bisa dipercaya, dan banyak di antara mereka yang dengan mudah
membolehkan pencegahan kehamilan (KB) karena ketidakpahaman terhadap
hukum-hukum syariat Islam, sebagaimana ucapan syaikh Shaleh al-Fauzan di atas.
(Lihat keterangan Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu dalam Khataru Tahdiidin
Nasl (8/16) Muallafaatusy syaikh Muhammad bin Jamil Zainu), dan keputusan
Majelis al Majma’ al Fiqhil Islami dalam Majallatul Buhuutsil Islaamiyyah
(30/286))
2) Pilihlah alat kontrasepsi yang tidak membahayakan
kesehatan, atau minimal yang lebih ringan efek sampingnya terhadap kesehatan
(Lihat keterangan Syaikh al-’Utsaimin dalam al-Fatawal Muhimmah
(1/160) dan kitab Buhuutsun Liba’dhin Nawaazilil Fiqhiyyatil Mu’aashirah
(28/6)).
3) Usahakanlah memilih alat kontrasepsi yang ketika
memakai/memasangnya tidak mengharuskan terbukanya aurat besar (kemaluan dan
dubur/anus) di hadapan orang yang tidak berhak melihatnya. Karena aurat besar
wanita hukum asalnya hanya boleh dilihat oleh suaminya (Lihat Tafsir
al-Qurthubi (12/205) dan keterangan syaikh al-’Utsaimin dalam Kutubu
Wa Rasaa-ilu Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimiin (10/175)), adapun
selain suaminya hanya diperbolehkan dalam kondisi yang sangat darurat
(terpaksa) dan untuk keperluan pengobatan (Lihat kitab an-Nazhar Fi Ahkamin
Nazhar (hal. 176) tulisan Imam Ibnul Qaththan al-Faasi, melalui
perantaraan kitab Ahkaamul ‘Auraat Linnisaa’ (hal. 85)). Berdasarkan
keumuman makna firman Allah ta’ala:
والذين هم لفروجهم حافظون، إلا على أزواجهم أو
ما ملكت أيمانهم فإنهم غير ملومين
“…Dan mereka (orang-orang yang beriman) adalah
orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau
budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada
tercela.” (Qs. al-Mu’minuun: 5-6)
+ komentar + 1 komentar
tQ infonya.. ^_^
Posting Komentar